Kamis, 12 November 2009

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN IKLIM KERJA TERHADAP DISIPLIN KERJA GURU

Manajemen Pendidikan di “Era Reformasi Pemerintah Daerah” yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktikkan perlu diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah. Manajemen berbasis sekolah yang sudah berhasil mengangkat kondisi pendidikan dan memecahkan masalah pendidikan di beberapa negara maju seperti Australia dan Amerika tentunya harus ditangkap menjadi satu peluang untuk menyajikan pendidikan yang berkualitas dalam pembentukan SDM. Manajemen pendidikan harus mampu menerjemahkan perubahan itu ke dalam kebijakan-kebijakan strategis bagi lembaganya.
Perubahan paradigma pendidikan yang bersifat sentralistik berubah menjadi sistem pendidikan yang bersifat desentralistik. Otonomi sekolah yang diperluas kian intensif direalisasikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kewenangan pemerintah pusat dalam menentukan arah kebijakan Pendidikan Nasional bersifat terbatas (limited policy), tidak lagi melakukan intervensi absolut dalam menentukan arah kebijakan sekolah yang bersifat teknis dan pragmatis. Kecenderungan perubahan paradigma pendidikan dilembagakan dalam suatu konsep otonomi pendidikan sebagai implementasi semangat menjalankan sistem reformasi pasca kejatuhan Orde Baru. Perubahan tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah untuk mereformasi sistem pendidikan nasional guna meningkatkan kualitas output pendidikan yang mampu berkompetisi dengan negara lain.
Kegagalan pemerintah pusat sebagai stakeholder utama dalam pengembangan sistem pendidikan di Indonesia yang mampu menghasilkan kelulusan yang dapat berkompetisi di era globalisasi, membutuhkan suatu terobosan yang inovatif dalam mengatasi persoalan demikian. Kebutuhan akan hal itu kian mendesak, seiring dengan perubahan konstelasi politik dari zaman Orde Baru ke zaman Orde Reformasi. Perubahan politik tidak hanya berdampak pada tatanan ketatanegaraan, namun juga berimplikasi kepada perubahan paradigma di bidang sosial, hukum, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Bagi yang terakhir ini, diimplementasikan dalam wujud otonomi pendidikan.
Orde reformasi mengusung paradigma besar (grand design) berupa otonomi daerah dengan wujud desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Demikian juga dengan sistem pendidikan nasional, semangat otonomi dan desentralisasi dimujudkan dalam sistem kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management). MBS merupakan pemikiran ke arah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu inovasi dalam sistem pengelolaan sekolah yang diadopsi dari konsep “School Based Management”. Dalam konsep MBS, sekolah memiliki kewenangan luas untuk menggali dan memanfaatkan berbagai sumberdaya sesuai dengan prioritas kebutuhan aktual sekolah (Calwell and Spinks, 1988; Department of Education of Quensland, 1990; Mohrman and Wohlstetter, 1994).
Perubahan paradigma pendidikan nasional merupakan salah satu langkah meningkatkan kualitas kelulusan pendidikan siswa, yang tidak hanya mampu bersaing pada level nasional tetapi juga internasional. Begitu juga upaya pemerintah menerapkan kurikulum terbaru KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006 adalah usaha mengejar ketertinggalan index human development (IHD) yang masih tergolong rendah.
Salah satu kegagalan meningkatkan kualitas kelulusan pendidikan di Indonesia adalah tingkat profesionalitas guru yang rendah. Faktor tersebut tidak hanya sebatas persoalan klasik menyangkut rendahnya gaji guru dan kualitas akademis guru, tetapi juga permasalahan kedisiplinan yang rendah. Konsep menghargai waktu, profesi, atasan, teman kerja, siswa, dan lingkungan masih tergolong rendah. Dengan demikian disiplin kerja juga menjadi rendah. Parameter kedisiplinan dalam proses pembelajaran di sekolah adalah tingkat kehadiran di kelas yang minim, terlambat mengajar, kurang menguasai materi bahan ajar, ketidaksesuaian antara materi yang diajarkan dengan kurikulum terbaru (KTSP edisi 2006: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), melakukan tindakan preventif dalam menangani siswa bermasalah kurang, dan sebagainya.
Semua itu dapat dieliminasi sedemikian rupa dalam perspektif penulis apabila kepala sekolah dapat memainkan peran kepemimpinan yang sangat fleksibel di era otonomi sekolah untuk menciptakan iklim kerja yang mampu menginduksi semangat guru dalam mengajar, agar terbentuk kedisiplinan guru di level sekolah.
Tingkat disiplin yang rendah berdampak pada produktivitas mengajar guru yang rendah. Menurut Veithzal Riva’i (2005:442), kedisiplinan berkaitan dengan waktu dan tempat. Jika dilaksanakan dengan tepat waktu tidak pernah terlambat, maka itu pula yang dikatakan tepat waktu. Demikian pula dengan ketepatan tempat, jika dilaksanakan dengan konsekuen, maka disiplin kerja telah merasuk ke dalam jiwa guru. Penghargaan terhadap waktu sudah dinyatakan dengan jelas dalam Al-Qur’an surat Al-“Ashr, ayat 1-2 sebagai
  •    
(1). Demi masa.
(2). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
Interpretasi terhadap ayat di atas adalah bentuk pengafirmasian manusia untuk menghargai waktu. Apabila manusia tidak menghargai waktu sebagai anugera Allah, maka konsekuensi logis bagi manusia adalah kerugian yang nyata. Kerugian tersebut dimanifestasikan dalam perwujudan hidup yang merugi, tidak mendapatkan sesuatu yang memiliki nilai lebih (added values) di mata manusia maupun di mata Tuhan, kualitas personal yang rendah karena kekurangan refleksi terhadap historisitas manusia, perubahan, keberhasilan dan persoalan fundamental lainnya. Sebagai indikator perubahan maupun keberhasilan itu ia tidak dapat memenuhi kesejahteraan hidupnya dengan mudah baik secara lahiriah maupun batiniah.
Kedisiplinan yang terbentuk dari iklim kerja kondusif adalah kedisiplinan rasional, bukan karena paksaan, atau ada monitoring dari kepala sekolah atau dewan pengawas pendidikan. Seandainya indikator kedisiplinan bersumber pada reward and punishment (ganjaran dan hukuman), barangkali itu sangat manusiawi, namun bukan instrumen utama pembentukan kedisiplinan kerja. Karakter disiplin kerja dibentuk dari kesadaran personal guru dalam menjalankan tugas keprofesiannya dengan penuh tanggung jawab, bukan hanya kepada kepala sekolah, melainkan kepada siswa, orang tua/wali siswa, komite sekola, masyarakat, pemerintah, bahkan bertanggung jawab kepada Tuhan.
Upaya mengatasi rendahnya kualitas pendidikan dijalankan dalam perspektif mikrokosmik. Artinya, pada praksis pendidikan telah terjadi persoalan mendasar yang berkaitan dengan penyebab dari rendahnya kedisiplinan guru. Kebijakan pemerintah yang bersifat top-down, seperti pemberian insentif, memberlakukan kebijakan sertifikasi guru/dosen, dan penerapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2005, adalah upaya meningkatkan kualitas mengajar guru yang berdampak positif pada peningkatan SDM manusia Indonesia.
Pergeseran paradigma pendidikan dalam sistem MBS sebagai bentuk antitesis kebijakan sentralistik berimplikasi kepada perubahan peran kepala sekolah dalam suatu institusi pendidikan. Agar desentralisasi dan otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan (empowerment) berarti peningkatan kemampuan secara fungsional, sehingga kepala sekolah mampu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, meliputi (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.
Hal itu dipertegas dengan pandangan tentang faktor-faktor penting yang dapat mendukung implementasi MBS agar berjalan efektif, di antaranya: (1) praktik kepemimpinan demokratis dan pengambilan keputusan teknis yang partisipatif di sekolah; (2) pemberdayaan fasilitas pendidikan yang efektif dalam mendukung program pembelajaran; (3) pengembangan kinerja profesional dan budaya kerja “teamwork” antara pimpinan sekolah dan guru; (4) partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi dan intensif. (Sa’ud, 2005; Sapa’at, 2007)
Mengapa praktik kepemimpinan kepala sekolah harus demokratis dan pengambilan keputusan teknis harus bersifat partisipatif? Participatif decision making process membuka ruang yang sangat terbuka bagi seluruh stakeholders sekolah untuk terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan dalam konteks manajemen sekolah. Harapannya semua pihak yang terlibat (kepsek, guru, komite sekolah, orang tua siswa) menjadi merasa memiliki dengan program sekolah dan mereka memiliki tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan program-program sekolah sesuai dengan tugas dan perannya masing-masing secara profesional.
Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai level atas, ketika era sentralistik masih berlangsung.
Dengan adanya desentralisasi manajemen pendidikan dan manajemen berbasis sekolah (MBS) peran kepala sekolah mulai berubah. Apalagi komite sekolah mulai berperan penting dalam pengelolaan sekolah. Kepala sekolah mempunyai dua peran utama, pertama sebagai pemimpin institusi bagi para guru, dan kedua memberikan pimpinan dalam manajemen.
Pembaharuan pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS) dan komite sekolah yang diperkenalkan sebagai bagian dari desentralisasi memberikan kepada kepala sekolah kesempatan yang lebih besar untuk menerapkan dengan lebih mantap berbagai fungsi dari kedua peran tersebut.
Kepala sekolah yang memiliki sisi demokratis dalam mengambil kebijakan strategis adalah gaya kepemimpinan yang paling efektif dalam system otonomi sekolah—dalam perspektif Suyanto (2005) disebut dengan model kepemimpinan partisipatif-transformasional. Kepemimpinan partisipatif-transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar-mengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research. Sebab, dengan penelitian kelas itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu meningkatkannya secara berkelanjutan.
Gaya kepemimpinan kepala sekolah, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin suatu lembaga sekolah. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu seperti fungsi kepala sekolah sebagai edukator, motivator, administrator, manajer, innovator, supervisor, dan leader. Fungsi kepala sekolah tersebut kemudian dimanifestasikan dalam suatu bentuk kepemimpinan konteksual, yang bersifat fleksibel, aspiratif, demokratis, partisipatif, edukatif, dan menjadi pelopor. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.
Andrias Harefa (2006) menyatakan bahwa berbicara tentang diskursus pemimpin dan kepemimpinan, maka wacana tersebut berurusan dengan soal efektivitas, mengurus people, memberdayakan dan memerdekakan potensi orang. Berbicara masalah efektivitas, maka konsep itu sedang terfokus pada langkah-langkah strategis yang dilakukan kepala sekolah dalam upaya pencapaian prestasi dan peningkatan kinerja bawahannya yang mampu memuaskan stakeholders pendidikan. Mengingat bawahannya adalah people yang relatif memiliki sifat-sifat manusiawi, maka kepala sekolah harus mampu memotivasi dengan baik karena memengaruhi motivasi seseorang berarti membuat orang tersebut melakukan apa yang kita inginkan. Karena fungsi utama dari kepemimpinan adalah memimpin, maka kemampuan untuk mempengaruhi orang adalah hal yang penting. Oleh karenanya, penggunaan komunikasi yang efektif terhadap bawahan sangat signifikan dalam usaha persuasi terhadap guru, karyawan, dan siswa.
Kepemimpinan kepala sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan (power relationship), dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga harus menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerja sama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, dan sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri. Kepala sekolah juga harus menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki kemampuan kerja profesional; serta menghindarkan diri agar tidak menyebabkan pekerjaan guru menjadi membosankan.
Gaya kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat partisipatif-transformasional-demokratis berdampak kepada pembentukan iklim kerja yang kondusif. Sebagaimana teori yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard 1999) adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan kepala sekolah dalam menangani masalah rendahnya disiplin guru dalam mengajar pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. Relasi yang bersifat tringual antara gaya kepemimpinan-situasi-bawahan merupakan unsur manajerial yang paling dominan dalam mekanisme hubungan organisasional.
Iklim kerja di sekolah menurut sirkulasi relasional di atas dideterminasi oleh gaya kepemimpinan kepala sekolah. Teori kepemimpinan dengan sudut pandang "Personal-Situasional" berpendapat tidak hanya pada masalah situasi yang ada, tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti deskripsi situasional dalam mengembangkan iklim lingkungan sekolah yang kondusif, adalah Teori Interaksi Harapan (Kurnia El-Qorni, 2003). Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan sentimen. Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan kejelasan dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok, maka aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas, dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi. Berarti, ikatan emosional yang berkembang antara kepala sekolah, guru, karyawan, dan para siswa dapat dibentuk melalui peningkatan sentimen institusi sekolah.
Pada tahun 1957 Stogdill mengembangkan Teori Harapan-Reinforcement untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang dilakukan. Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang terjadi, dimaksudkan untuk mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah.
Atas dasar teori diatas, House pada tahun 1970 mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Motivasional. Fungsi motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkahlaku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Efektif. Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku pemimpin tergantung dari hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin yang memiliki orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi. Semakin sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas kepemimpinan makin tinggi.
Pembentukan nilai kebersamaan dan perasaan memiliki (sense of belonging) guru-guru ditentukan oleh iklim kerja yang dibentuk oleh gaya kepemimpinan kepala sekolah. Perasaan emosional yang kuat dapat memperkuat solidaritas sosial dan identitas kolektif yang memungkinkan seorang guru menjalankan profesi keguruannya secara profesional. Dengan cara demikian, antar pimpinan dan guru terjadi kesamaan persepsi sehingga mereka dapat mengoptimalkan usaha ke arah tujuan yang ingin dicapai sekolah. Melalui cara ini, diharapkan akan tumbuh kepercayaan, kebanggan, komitmen, rasa hormat, dan loyalitas kepada kepala sekolah sehingga mereka mampu mengoptimalkan usaha dan kinerja mereka lebih baik dari biasanya. Ringkasnya, gaya kepemimpinan transformasional – partisipatif - demokratis berupaya melakukan transforming of visionary menjadi visi bersama sehingga mereka (bawahan plus pemimpin) bekerja untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, proses transformasional dapat terlihat melalui sejumlah perilaku kepemimpinan seperti ; attributed charisma, idealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration.(Kurnia El-Qorni, 2003).
Instrumen di atas berupa komitmen, loyalitas, kesamaan persepsi tentang tujuan pendidikan yang akan dicapai, melalui pendekatan persuasif yang menjadi syarat mutlak (pre-requisite) terbentuknya iklim kerja yang kondusif, yang mampu meningkatkan kehadiran guru dalam mengajar, mengoptimalisasikan potensi guru dalam menjalankan kewajiban tanpa menegasikan hak yang menjadi bagian dari unsur kedisiplinan kinerja di lembaga sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar