Sabtu, 07 November 2009

ESQ: Teori Kecerdasan Baru

Metode ini dipopulerkan oleh praktisi sumber daya manusia di Indonesia oleh Ary Ginandjar Agustian pada medio 2000. metode ESQ meruapakan konvergensi antara prinsip kerja kecerdasan emosional atau emotional quetiont (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) (Agustian, Ary Ginandjar, 2005:17). Akan tetapi dalam perspektif Agustin, metode ini adalah penggabungan dari ketiga kecerdasan yang diawali kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ),dan kecerdasan spiritual (SQ).
Konsep ESQ adalah bentuk penyelarasan kebutuhan akan kepentingan duniawi dan akhirat sebagai makhluk hidup dua dimensi-dengan meminjam istilah Prof. Notonegoro, mono-dualisme – maka dikonfigurasikan gagasan yang bersifat efektif antara konsep duniawi yang membutuhkan kepekaan emosi dan intelegensia yang baik di satu sisi dengan penguasaan ruhiah vertikal sebagai inspirasi spiritual (Agustian, Ary Ginandjar, 2005:17).
Ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil mendaki kesuksesan, acapkali ia disergap oleh perasaan “kosong” dan hampa dalam celah batin kehidupannya. Setelah prestasi puncak telah dipijak, ketika semua pemuasan kebendaan telah diraih, setelah uang hasil jerih payah berada dalam genggamannya, ia tak lagi tahu kemana harus melangkah, untuk tujuan apa semua prestasi itu diraihnya, sehingga hampir-hampir diperbudak uang serta waktu tanpa tahu dan mengerti dimana ia harus berpijak di posisi inilah ESQ tampil menjawab permasalahan tersebut.
ESQ sebagai sebuah metode dan konsep yang jelas dan pasti adalah jawaban dari kekosongan batin sang jiwa. Jiwa sendiri dalam pandangan Al-Ghazali (1998:6), memiliki dua makna, pertama struktur yang lembut yang merupakan tempat bersemayam hati jasmani; kedua, entitas kelembutan immateri yang bersifat umum yang berada pada setiap individu. Perumpamaan ruh adalah pelita, dan kehidupan adalah cahaya tanpa pelita, tak ada struktur kehidupan.
Bagian lain dari taksonomi nilai kemanusiaan adalah nafsu yang merupakan dimensi keberadaan emosi. Perasaan dihadirkan oleh emosi suatu residu dari nafsu itu sendiri. Emosi didefinisikan sebagai perasaan manusia yang kuat terhadap sesuatu di luar dirinya (Longman, 2001:449).
Pengendalian terhdap emosi merupakan inti dari kecerdasan emosional (Goleman, Daniel, 2005:27), semenjak pakar manajemen Daniel Goleman yang mengambil doktor di Harvard memperkenalkan istilah Emotional Quotient (EQ) tahun 1995, maka upaya untuk menyingkap tabir misteri tentang kecerdasan manusia memasuki era baru. Menurut Goleman sebagaimana yang dikutip Syahmuharnis dan Harry Sidharta (2007:15), keberhasilan seseorang dalam hidupnya bukan ditentukan oleh intellegentia Quotient (IQ) seperti yang selama ini diyakini, melainkan karena mereka memiliki EQ yang tinggi. Banyak orang ber-IQ tinggi justru gagal di dalam hidupnya karena tidak memiliki EQ yang tinggi.
Orang yang memiliki EQ tinggi secara emosional cerdas dan memiliki keseimbangan emosi sehingga memungkinkan mereka mengatasi berbagai problematika sosial yang banyak menghadang kehidupan umat manusia. Ini sejalan dengan pandangan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dalam konteks ini, kecerdasan emosional berimplikasi secara generatif pada apa yang disebut oleh Goleman dengan spektrum “kecerdasan sosial” atau social intelligence (Goleman, 2007:113). Bahkan interaksi antara kecerdasan emosional dan sosial lainnya tumpah tindih. Goleman berkomentar :
“Model kecerdasan emosi saya adalah tercampur dengan kecerdasan sosial tanpa membersar-besarkan hal itu seperti yang dilakukan oleh teoritikus-teoritikus lain dalam bidang ini. Namun, seperti telah saya lihat, semata-mata mengelompokkan kecerdasan sosial dalam kelompok emosi mencegah pemikiran segar tentang kemampuan manusia untuk menjalin hubungan dengan orang lain dengan mengabaikan apa yang berlangsung ketika berinteraksi” (Goleman, 2007:113)

Biehler dan Snowman dalam “Psychology Applied to Teaching” (1990:126-133) membuat empat pendekatan dalam pembelajaran tingkat menengah pertama (SMP).
Pertama, karakteristik fisik (physical characteristics), yaitu pendekatan dengan melihat perkembangan fisik siswa dengan melihat kematangan (maturity) siswa semenjak masa pubertas serta implikasi yang dihadapinya dari perubahan struktur tubuh mereka.
Kedua, karakteristik emosional (emotional characteristics), dalam pendekatan ini siswa ditempatkan melalui wilayah emosional dimana terdapat dua ciri yang paling dominan pada tingkat SMP, yaitu ketegangan dan stress, serta perilaku vandalisme.
Ketiga, karakteristik sosial (social characteristics), yaitu terbentuknya kelompok dalam “peer-group” yang menjadi sumber umum aturan-aturan tingkah laku, hasrat untuk menggapai posisi puncak dalam tahun-tahun di SMP, dan siswa cenderung berpikiran kepada orang-orang yang memikirkannya.
Keempat, karakteristik kognitif (cognitive characteristics), yaitu ciri-ciri yang dominan dalam periode SMP adalah suatu transisi antara tindakan operasional yang kongkrit dan pemikiran formal, transisi antara moralitas pembatasan dan kerja sama, serta mulai terbentuknya pemikiran yang lebih abstrak, liberal dan cenderung lebih rasional.
Tipologi Biehler dan Snowman di atas merupakan unsur-unsur yang mewakili kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan sosial (SI). Meskipun demikian, antara EQ dan SI berkaitan sangat erat seperti yang telah dijelaskan oleh Goleman.
Menurut Lawrence W.Saphiro (dalam Uno. B, Hamzah, 2006:68), kecerdasan emosional memiliki jenis-jenis kualitas emosi yang dianggap penting untuk mencapai keberhasilan. Jenis-jenis kualitas yang dimaksud adalah 1) empati, 2) mengungkapkan dan memahami perasaan, 3) mengendalikan amarah, 4) kemampuan kemandirian, 5) kemampuan menyesuaikan diri, 6) diskusi, 7) kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, 8) ketekunan, 9) kesetiakawanan, 10) keramahan, dan 11) Sikap hormat.
Dalam pandangan Saphiro, pencetus istilah kecerdasan emosi adalah Peter Salovey dan John Mayer pada tahun 1990, bukan Goleman seperti yang dikemukakan oleh Syahmuharnis dan Harry Sidharta. Namun, pandangan yang kontradiktif ini dapat dimediasi dengan asumsi bahwa pencetus gagasan EQ adalah Peter Salovey dan John Mayer, sedangkan yang mempopulerkannya adalah Daniel Goleman.
Kecuali EQ, muncul beberapa konsep lain tentang kecerdasan yang menentukan keberhasilan seseorang, misalnya Relationship Quotient (RQ), Leadership Quotient (LQ), Adversity Quotient (TQ), Multiple Quotient (MQ), Transcendental Quotient (TQ), dan terakhir Spiritual Quotient (SQ). Semua konsep kecerdasan – kecuali bagian terakhir- belum mampu manawarkan solusi terhadap apa sesunggunya faktor penentu kesuksesan dan kebahagiaan hidup yang hakiki.
Adalah Wayne W. Dyer yang pertama kali mengupas spiritual Capital (SC) sebagai jawabannya dengan meluncurkan buku yang berjudul There’s a Spiritual Solution to Every Problem. Secara sadar dan terencana, Dyer meyakini SC sebagai obat keresahan batin yang paling mujarab. Dyer sebagaimana yang dikutip Syahmuharnis dan Sidharta (2007:17), memulai ulasannya dengan tesis ilmu fisika : Everything in our Universe is nothing more than energy. Dengan pemahaman itu, ia membagi kehidupan ke dalam beberapa gelombang energi yang sedikit lebih cepat. Di bagian ini, manusia sudah mulai bisa melakukan pemilahan masalah. Namun, pada gelombang energi tercepat, semua permasalahan seperti mendapatkan jalan pemecahannya sendiri. Wilayah ini disebut Dyer sebagai wilayah spiritual.
Patologi-patologi sosial dan psikologis yang disebabkan oleh paradigma moderinitas dan industrialitas berupa keterasingan – dalam perspektif Erich Fromm, masyarakat yang teralienasi – kegelisan batin, keprihatinan, kebutuhan dan pergulatan eksistensial mendorong pula psikolog Danah Zohar dan suaminya Ian Marshall melakukan riset dan percarian yang berakhir dengan diluncurkannya istilah kecerdasan baru, yakni Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual dalam perspektif Danah Zohar dan Ian Marshall (2007:4) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup seseorang dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Bagi Zohar dan Marshall, SQ diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan bentuk kecerdasan tertinggi.
SQ yang dikembangkan oleh mereka berdua bertitik tolak dari proses kesadaran jiwa dalam pencarian makna kehidupan yanag paling substansial (Zohar dan Marshall, 2007:7). Maka bagi Zohar dan Marshall, kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. SQ tidak berangkat dari agama, tetapi SQ dapat membuka tabir untuk melakukan ritualisme keagamaan yang lebih intensif.
SQ semakin berkembang manakala manusia modern terisolasi oleh paradigma materialistik, proses dehumanisasi akan makna absolut, terpenjara oleh pemikiran Newtonian-Descartesian, teralienasi dalam konteks sosial oleh pengajaran tiada henti akan kepentingan duniawi dan sederet patologis lainnya. Pada titik itulah muncul apa yang dinamakan Zohar dan Marshall (2007:82) sebagai “Titik Tuhan (God’s Spot). Titik Tuhan adalah bagian “lobus temporal” merupakan sistem limbik, pusat emosi dan memori otak yang dapat mengarahkan aktivitas manusia dalam memahami diri sendiri dan alam semesta di sekitarnya.
Hal senada tentang bagian otak juga dikemukakan oleh Taufik Pasiak (2004 : 5) yang menyatakan otak kepala manusia memiliki tiga pikiran yaitu otak rasional intuitif, otak emosional, dan otak atau pikiran spiritual. Pada bagian akhir otak manusia, pikiran cenderung memaknai nilai-nilai metafisis, mempertanyakan keberadaan dirinya dan sesuatu secara eksistensial, sampai pada pemahaman tentang hakikat dari sebuah tatanan sistemik berupa harmoni (Ali Shah, Omar, 2002:112). Ini berarti, SQ tidak hanya mengenali hakikat dan eksistensi sesuatu tetapi juga menghadirkan harmonisasi kehidupan laksana alunan musik tanpa suara sumbang.
Tanpa di sadari, SQ juga mengalami destabilisasi teoritik sampai jatuh pada pemahaman ekstrim bahwa hidup ini hanya sebatas pencarian makna akan eksistensi manusia dengan relasi terhadap nilai-nilai absolut – baca “Tuhan”. Kekhawatiran sebagai praktisi pendidikan atau psikolog yang mengatakan bahwa apabila metode SQ dijalankan secara tidak proporsional menyebabkan siswa atau orang yang dididik dengan metode ini akan cenderung individualis, hidup dengan “lingkungan spiritualnya disertai kenikmatan ruhaniah”.
Melihat kecendrungan yang ada, tentunya metode eklektif yang dikembangkan Ary Ginandjar Agustian dengan nama Emotional Spiritual Quotient (ESQ) patut diperhitungkan sebagai salah satu metode pembelajaran di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Berbeda dengan pendekatan Zohar dan Marshall, pendekatan ESQ yang diterapkan di Indonesia mencoba menggunakan jalur agama, khususnya agama Islam. ESQ menanamkan pemahaman terhadap manusia, khususnya umat islam tentang 99 sifat Allah (al-Asma’ul Husna), dimana sifat –sifat tersebut juga terpancar dari ruh yang ada pada setiap manusia (Syahmuharnis dan Sidharta, Harry, 2007:20). Makna demikian sesuai dengan definisi spiritualitas menurut Longman, “the Quality of being intetersted in religion or religious matters (Longman,2001 : 1386).
Kegagalan EQ dan IQ yang hanya mengejar target materi semata atau berorientasi pada analisis duniawi yang fana (temporary) dan kegagalan SQ. God Spot sebenarnya nilai manusia tertinggi namun belum bahkan tidak menjelaskan nilai-nilai ketuhanan (Agustian, Ary Ginandjar, 2005:44). Kegagalan SQ dalam kaca mata Ginandjar karena temuan “God Spot” mereka baru sebatas hardware-nya saja (Spiritual center pada otak manusia), belum ada software (isi kandungan)nya.
ESQ model yang ditawarkan Ary Ginandjar Agustin adalah software dari God Spot untuk melakukan “Spiritual Engineering” sekaligus sebagai mekanisme penggabungan tiga kecerdasan manusia yaitu EQ, IQ dan SQ dalam satu kesatuan yang integral dan transendental.
Hubungan ketiga komponen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar