Rabu, 02 Desember 2009

REPOSISI PGRI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SISTEM

REPOSISI PGRI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SISTEM
PENDIDIKAN DI KOTA TANGERANG
(Oleh: SAFRUDIN, S.FIL.)

Boleh dibilang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan organisasi yang telah berusia mendekati satu abad, tepatnya berdiri sejak 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Perkumpulan yang didasarkan pada kesamaan profesi di bidang pendidikan ini mengalami metamorfosis yang disesuaikan dengan semangat dan perubahan zaman. Secara sosio-historis, PGRI didirikan secara resmi pasca 100 hari kemerdekaan Republik Indonesia tepatnya 25 Nopember 1945. Oleh karena itu, setiap tanggal 25 Nopember selalu diperingati sebagai Hari Guru Nasional.
Pendirian PGRI didasarkan untuk tujuan utama, yaitu membela dan mempertahankan negara, memajukan pendidikan seluruh rakyat berdasar kerakyatan, dan membela dan memperjuangkan nasib guru. Para pendiri (founding fathers) PGRI meliputi guru dan pensiunan guru yang mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia serta pegawai Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK).
Pasca rezim Orde Lama, PGRI semakin menemukan bentuk yang labih matang sebagai wadah ekspresi guru, media menyalurkan aspirasi para guru, melakukan upaya tawar-menawar yang lebih elegan dalam menciptakan sistem pendidikan yang berkeadilan, dan tentu memperjuangkan nasib para "pejuang tanpa tanda jasa" ini. Dalam skala masif, perjuangan PGRI dalam membela kepentingan guru yang termarjinalisasikan dalam struktur sosial ekonomi terus bergelora mulai dari tingkat kepengurusan pusat sampai kepengurusan ranting.
Semangat keanggotaan PGRI dipenuhi dengan jiwa pengabdian. Jiwa pengabdian, tekad perjuangan dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis. Ikatan emosional keprofesian kian mengental pada masa Orde Baru ketika pekerjaan guru dianggap sebagai pekerjaan kelas dua, pekerjaan yang tidak mendatangkan status sosial yang memadai –atau meminjam istilah Iwan Fals "Oemar Bakrie". Sungguh demikian PGRI tetap eksis mengawal nasib guru agar tidak terus berada dalam posisi periferi dalam konteks kehidupan berbangsa.
Setelah rezim Soeharto tumbang pada 21 Mei 1998, berdirilah tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang dikenal dengan Orde Reformasi. Pada masa inilah terjadi perkembangan yang signifikan terhadap nasib dan kesejahteraan guru, tidak hanya dari segi pendapatan namun juga pencitraan baru yang lebih memanusiakan para guru. Perubahan yang paling fundamental adalah perubahan konstitusi atau Amandemen UUD 1945 yang telah berjalan sebanyak 4 kali. Dalam ketentuan Amandemen tersebut dengan jelas diamanatkan kepada negara untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Ini tentu mendatangkan angin segar bagi dunia pendidikan pada umumnya dan guru pada khususnya, yang berimplikasi positif pada pemberdayaan PGRI di masa depan.
Dengan semangat otonomi pendidikan, dirilis Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yang menggantikan UU No. 2 Tahun 1999. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 dengan jelas disebutkan bahwa otoritas penentu kelulusan dan sistem pembelajan dalam Satuan Unit Terkecil (sekolah) berada di tangan guru. Menyangkut tingkat kesejahteraan guru dan masa depan yang lebih menjanjikan, Pemerintah dan DPR menelurkan Undang Undang No. 25 Tentang Guru dan Dosen. Di dalam UU itu dengan jelas mengatur hak dan kewajiban yang harus dijalankan oleh guru dalam melaksanakan tugas mengajar. Untuk menjabarkan maksud UU No. 25 Tahun 2005, dikeluarkan Peratuan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam pasal 28 sangat jelas dijabarkan tentang kompetensi pendidikan yang dikenal dengan sertifikasi pendidik. Muara dari itu semua adalah peningkatan pendapat guru yang luar biasa. Dengan demikian, guru tidak lagi berkutat pada persoalan klasik pemenuhan kebutuhan dasar, dan lebih fokus meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.
Apa dampak dari kebijakan pemerintah yang pro-pendidikan bagi eksistensi PGRI pada level Kota Tangerang? Ini adalah sebuah pertanyaan kritis yang perlu dikedepankan di tengah arus de-moralisasi profesi guru dan pola pikir (mind set) yang lebih pragmatis. Ada beberapa fenomena yang cukup mengkhawatirkan eksistensi PGRI dan anggota PGRI itu sendiri:
1. Secara umum dapat dimaklumi keanggotaan PGRI dan kepengurusan PGRI ang berada di kota Tangerang atau di Cabang Cipondoh lebih didominasi oleh guru-guru PNS. Jarang sekali, ini tentu kasuistik, PGRI mengakomodasi guru-guru non-PNS. Padahal dari segi kuantitas, guru non-PNS lebih banyak dari guru PNS. Kecenderungan paradigma yang berkembang menunjukkan PGRI sebagai wadah eksklusif-primordialistik yang hanya menampung guru-guru PNS patut dikedepankan sebagai agenda kepengurusan yang akan terbentuk di wilayah Cipondoh.
2. Sekarang ini, berdiri organisasi profesi guru yang mengatasnamakan guru honorer. Keberadaan PGHI (Persatuan Guru Honorer Indonesia) tentu mengundang pertanyaan bagi kita sebagai anggota PGRI, mengapa itu semua dapat terjadi? Apakah kita kurang memberikan porsi lebih energi kita untuk memperjuangkan nasib guru honorer yang tiada kunjung terselesaikan. Meskipun di tingkat pusat, Ketua Umum PB PGRI, Sulistiyo terus mendesak DPR dan Pemerintah untuk memberikan perhatian lebih berupa gaji yang terstandarisasi seperti UMR (Upah Minimum Regional). Keadaan ini cukup teratasi oleh kebijakan Walikota Tangerang yang memberikan insentif sama antara PNS dan tenaga honorer. Organisasi PGRI Kecamatan Cipondoh yang akan terbentuk minimal mampu mengakomodasi aspirasi-aspirasi suara yang dianggap tidak layak untuk diperjuangkan.
3. PGRI Kota Tangerang yang diharapkan menjadi lokomotif perubahan pendidikan di wilayah Tangerang terkooptasi oleh pergerakan yang sistemik dengan menjadikan PGRI sebagai kendaraan menuju karier yang lebih tinggi. Ini patut disayangkan, karena PGRI adalah organisai profetik keprofesian, organisasi non-politik, non-social status oriented, non-profit, dan non-affilied. Memasuki wilayah PGRI tidak harus dengan bayang-bayang kekusaan. PGRI adalah wadah kangen-kangenan, tukar-menukar informasi (sharing information), memberdayakan potensi guru (empowerment of teachers' competency), menampung aspirasi anggota, dan yang lebih penting mengawal sistem pendidikan yang lebih berkualitas.
4. Kepengurusan PGRI harus diupayakan se-profesional mungkin, akuntabel, transparan, the right man in the right place at the right time. Semua harus siap dan bersedia meluangkan waktu untuk membesarkan PGRI di wilayah Tangerang pada umumnya dan Kecamatan Cipondoh pada khususnya. Perselisihan, konflik, dan benturan kepentingan (vested interest) harus diatur sedemikian rupa dengan tata kelola dan sistem manajemen moderen. PGRI tidak dapat dibesarkan oleh Pemerintah, yang membesarkan PGRI adalah guru itu sendiri.
5. Kepengurusan PGRI Cipondoh harus menciptakan iklim organisasi yang kondusif bagi para anggotanya, membuat mereka merasa nyaman (at home) dan membuka ruang-ruang untuk berdiskusi, membagi pengalaman dalam mengajar, memberikan alternatif dan solusi bagi problematika pendidikan di wilayah Tangerang sehingga berevolusi pada rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) para anggotanya.
Itulah beberapa agenda besar yang patut dikedepankan dalam rangka redefinisi dan reposisi PGRI di wilayah Tangerang dan terutama di cabang Cipondoh. Semoga kita adalah bagian sejarah yang mampu membesarkan PGRI demi kemaslahatan guru, siswa, masyarakat dan negara. Bravo PGRI ............!!!