Selasa, 01 Juni 2010

THE END OF CAPITALISM

Pengantar
Banyak pakar ilmu-ilmu sosial kontemporer yang meragukan kehebatan ideologi kapitalisme sebagai ideologi yang sempurna dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi umat manusia. Di awali dengan krisis moneter yang menerjang hebat hampir sebagian besar negara-negara Asia pada tahun 1998. Barangkali peristiwa itu tidak terlalu berpengaruh kepada jantung-jantung kapitalisme global yang berpusat di New York di Amerika Serikat dan London di Inggris.
Namun, seiring berjalannya waktu tepatnya satu dasawarsa pasca krisis moneter di belahan Asia, maka terjadilah peristiwa hebat yang mengguncang sistem kapitalisme, tidak hanya sebagai sebagai sistem ekonomi dan budaya melainkan sebagai "way of life". Peristiwa yang dikenal dengan sebutan "Subrime Mortgage" di Amerika Serikat, merontokkan kedigdayaan ekonomi kapitalisme, kebangkrutan korporasi-korporasi multinasional seperti Standard Chartered, General Motors, dan hampir seluruh perusahan-perusahan besar lainnya. Pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana. Bank banyak yang tutup, kredit macet di bidang properti meraja lela, bursa-bursa saham di New York Stock Exchange bertumbangan, yang diiringi pada bursa-bursa dunia lainnya.
Babak baru hegemoni Amerika Serikat sebagai dedengkot kapitalisme dunia dipertaruhkan bahkan dipertanyakan. Keraguan akan daya revivalitas sistem kapitalisme sedikit banyak menghantui hampir seluruh jagad penduduk benua. Barangkali kita teringat dengan manifesto komunisme-nya Karl Marx dan Friedriech Engels dengan ungkapan: " A spectre is haunting Europe -- the spectre of communism". Ada sebuah hantu yang sedang membayangi Eropa, ungkapan ini dapat diderivasikan ada sebuah hantu "kebangkrutan kapitalisme" yang sedang membayangi dunia. Ini adalah sebuah kenyataan historis bagi siapapun yang hidup di milenium ketiga, ketakutan akan keberakhiran ideologi kapitalisme mengancam kaum borjuis dalam mangakumulasikan modal dan tenaga manusia, kegamangan manusia moderen yang terbiasa bergumul dengan kesadaran kapitalisme semu tanpa pernah melakukan kritik yang memadai terutama ketika mereka menemukan titik-titik kelemahan mendasar sistem ini.
Pada saat sistem komunisme runtuh dengan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 dan robohnya tembok Berlin, seketika semua orang tersenyum lebar sebagai bukti kemenangan kapitalisme. Salah satu orang yang senang, tentu bangga adalah Francis Fukuyama. Dalam karya "The End of History and The Last Man", Fukuyama menyatakan dengan jelas bahwa kapitalisme yang memiliki nyawa demokrasi liberal akan melembagakan suatu "end point of mankinds' ideological evolution and the final form of human government, and such as constituted the end of history". Sungguh suatu hipotesis ang sangat berani dalam menyimpulkan kemenangan kapitalisme dengan anggapan nilai-nilai universal yang menaunginya seperti "liberalisme, rasionalisme, demokrasi, hak-hak asasi manusia, kekebasan, kompetisi, dan hak kepemilikan". Anggapan Fukuyama didasarkan pada fakta sejarah keruntuhan komunisme yang tidak hanya gagal dalam menyejahterakan masyarakat di suatu negara yang menganut ideologi tersebut, tetapi juga jelas-jelas gagal berdialektika dengan sejarah itu sendiri untuk menjadi sintesis siklis.
Pada permulaan analisisnya, Fukuyama melihat bahwa komunisme dengan segala variannya antara lain, otoritarianisme, ultranasionalisme fasistik, sistem kediktatoran di negara-negara ketiga sebagaimana yang dianut oleh Filipina dengan Corazon Aquino, Italia dengan Mussolini, Irak dengan partai Ba'ath pimpinan Saddam Husein, Suriah dengan kaum Alawy-nya, dan negara-negara Afrika, serta negara-negara Amerika Latin gagal menyejahterakan rakyatnya karena tidak mengakomodasi kepentingan individual berupa hak kepemilikan eksklusif.
Oleh karenanya, tanpa sungkan-sungkan Fukuyama mendeklarasikan bentuk kemenangan kapitalisme vis a vis komunisme yang lahir pasca perang dunia II, sehingga melahirkan dinamika historis yang bersifat monolog. Kemenangan kapitalisme yang dipandang sebagai justifikasi hegemoni modernitas, justru di mata post-modernist mengalami –meminjam istilah Derrida "dekonstruksi"—nilai budaya dan perkembangan sejarah kapitalisme dalam ruang dialektika, lambat laun terjadi semacam involusi nilai utama kapitalisme, profitisasi dan privatisasi.
Jauh sebelum Fukuyama meneguhkan kemenangan kapitalisme, sosiolog Amerika Daniel Bell justru meragukan cengkeraman sistem kapitalisme dalam ranah budaya. Dari sudut pandang budaya, Bell melihat banyak terjadi kontradiksi yang berakibat fatal pada perkembangan kapitalisme sebagai sebuah ideologi mutakhir. Sebut saja misalnya, kemajuan teknologi informasi yang ditandai dengan kemajuan internet, di satu sisi mampu menghubungkan relasi sosial antar individu melampui rentang jarak sekaligus mempermudah mencari sumber-sumber informasi dan data, akan tetapi di sisi lain terjadi penguakan tabir individual yang menjadi idaman masyarakat kapitalisme.
Bell melihat pembentukan masyarakat kapitalisme dari aspek sosiologis tidak lagi bersifat komunal melainkan imajinatif, atau meminjam istilah Benedict Anderson sebagai "masyarakat imajiner (Imagine Community). Kita dapat melihat berdirinya sentra-sentra bisnis yang lebih berorientasi mengakumulasikan keuntungan daripada sebagai media ekspresi pergaulan. Pengukuhan mall dan hypermart menegasikan aspek-aspek adiluhung kemanusiaan seperti mencintai, tegur sapa, membantu sesama, silaturahim, dan bercengkerama semua itu diganti dengan transaksi, menawarkan barang, promosi, beriklan, membagi brosur, menentukan pilihan benda, dan sejenisnya yang bermuara pada aspek yang sangat dibenci Marx "akumulasi modal".
Dunia kapitalisme adalah dunia pencitraan. Kemasan menjadi nilai yang paling berharga daripada substansi. Reduksi makna luar bias terjadi. Dunia fashion, peran media massa, franchise dan sejenisnya menghadirkan kesadaran semu akan konstruksi budaya yang dihadirkan oleh kapitalisme. Bagi Bell sendiri, meskipun tidak mengisyaratkan secara langsung, keruntuhan kapitalisme tinggal menunggu waktu ipso facto "the cultural contradiction of capitalism".
Kegalauan serupa diteriakkan oleh Foucoult, Fromm, Mazhab Frankfrut yang diwakili Adorno dan Herbert Marcuse, Derrida, Myrdal, dan lain sebagainya. Sisi-sisi kelemahan tersebut menjadi otokritik yang paling mengerikan dalam sejarah perkembangan kapitalisme. Meskipun dewasa ini kapitalisme diselamatkan dengan program bailout, pengucuran dana milyaran US dollar untuk menyelamatkan segelintir perusahan demi keberlanjutan hegemoni Barat dan Amerika, sesungguhnya menunjukkan watak asli kapitalisme yang jauh dari nilai keadilan. Padahal keadilan menjadi filosofi dasar berdirinya kapitalisme, dimana keadilan merupakan roh etika dan moralitas seperti yang didengungkan pendiri kapitalisme Adam Smith.
Selain itu, kritik tajam ditujukkan pada jantung nilai kapitalisme, demokrasi. Deng Xiaoping, Bapak Pembangunan China Moderen mengkritik pedas penerapan demokrasi ala "barat" yang dianggap harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi negara bangsa yang ada dewasa ini. Nilai demokrasi berupa sistem multi-partai, pemilihan umum yang bebas dari tekanan, adanya oposisi, kebebasan pers, berpendapat, dan sejenisnya ternyata tidak mendatangkan tingkat kesejahteraan yang ekuivalent. Kasus yang paling gamblang adalah negara India, Filipina, dan Indonesia. Ketiga negara demokrasi ini di bidang politik mengalami kemajuan luar biasa, terutama Indonesia pasca reformasi 1998, namu tidak berimplikasi pada tingkat kesejahteraan masyarakat yang memadai.
Di sinilah hadir sebuah anti-tesis dari sistem developmentalisme-kapitalisme-demokrasi vis a vis dengan ekonomi ala negeri Tirai Bambu tersebut. Adagium yang sangat terkenal dari "Kamred" Deng adalah "kita tidak butuh kucing itu berwarna hitam atau putih yang penting dapat menangkap tikus". Ungkapan ini menjadi paradigma epistemik yang sangat berpengaruh dalam pola-pola dan perancangan pembangunan pasca Mao tahun 1978. Deng tak segan-segan menggunakan senjata untuk menumpas tindakan anarkhis yang merongrong kewibawaan negara, dan berakibat fatal dalam merusak arah dan program pembangunan yang dijalankan pemerintah dengan bantuan Partai Komunis Cina. Peristiwa Tianamen yang berdarah pada tahun 1989, dianggap oleh Deng hanya sebagai tumbal pembangunan. Setelah peristiwa itu China mencatat pertumbuhan lebih dari dua digit selama dua dasawarsa terakhir. Posisi China pada tahun 2008 telah merebut kekuatan ekonomi terkuat no. 3, Jerman dan diperkirakan 5 tahun mendatang China dapat menggeser kekuatan ekonomi Jepang yang berada diposisi 2. Bahkan tak lama kemudian, 50 tahun akan datang China mampu menggeser ekonomi Amerika Serikat diposisi 1.
Fakta-fakta tersebut menjelaskan dengan definitif bahwa China maju bukan karena nilai demokrasi yang menjadi propoganda Amerika untuk memaksakan jehendaknya kepada negara-negara dunia ketiga. Terjadinya polarisasi perimbangan kekuasaan itu, berpengaruh besar pada pertaruhan ideologi kapitalisme global. China sekarang mulai mengkespansikan ekonominya ke begara-negara Afrika dan Amerika Latin yang membuat gerah Amerika.
Kelesuan ekonomi Amerika, rendahnya tingkat daya beli masyarakat, kredit macet di bidang perumahan, PHK massal, kebangkrutan korporasi-korporasi dan bank-bank global memperburuk citra kapitalisme. Program penyehatan dan bantuan likuiditas sebagian besar negara-negara yang sedang diterpa krisis itu menjalar pada praktik dumping dan proteksionisme yang sangat dilarang oleh WTO. Bagi sebagian kalangan, itu merupakan tanda-tanda kehancuran kapitalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar