Selasa, 01 Juni 2010

OPTIMALISASI KINERJA GURU UNTUK MEWUJUDKAN PENDIDIKAN BERKUALITAS DALAM NUANSA
AKHLAKUL KARIMAH


Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 11 ayat 1 mengamanatkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu (berkualitas) bagi setiap warga negara. Terwujudnya pendidikan yang bermutu membutuhkan upaya yang terus menerus untuk selalu meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya peningkatan kualitas pendidikan memerlukan upaya peningkatan kualitas pembelajaran (instructional quality) karena muara dari berbagai program pendidikan adalah pada terlaksananya program pembelajaran yang berkualitas. Oleh karena itu, usaha meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan tercapai tanpa adanya peningkatan kualitas pembelajaran.
Kualitas pembelajaran sendiri tidak terlepaskan dari dimensi kualitas guru sebagai "agent of knowledge transformation", atau dalam bahasa H.A.R Tilaar guru berkualitas memiliki "strategi pedagogik transformatif". Sangat naif membayangkan kualitas pendidikan yang baik tanpa mempersepsikan kualitas pedagogik seorang guru dalam ranah edukasi. Oleh karena itu, kebijakan (policy) pemerintah pusat dan para pemangku kebijakan (stake holders) harus mengutamakan pendidikan sebagai mainstream pembanguan karakter bangsa dan negara yang utama.
Pasca reformasi bergulir, kebijakan pendidikan mulai diarahkan untuk menjadikan pendidikan sebagai instrumen utama pembanguan dalam kerangka "Tujuan Pembanguan Milenium Baru" (Millenium Development Goals/MDGs). Menurut Azyumardi Azra, konsep pendidikan yang berkualitas tidak hanya menempatkan seorang guru hanya sekadar tempat bagi terjadinya transfer of knowledge, melainkan character building, tempat pendidikan bukan sekadar pengajaran.
Bagi sebagian masyarakat umum, persepsi yang memandang guru hanya sebatas sumber pengetahuan berdampak fatal terhadap pembangunan karakter siswa itu sendiri. Konsekuensinya, harapan yang luar biasa besar berada di pundak guru untuk membentuk personalitas yang penuh dengan nilai-nilai pekerti dan karakter mulia jauh dari kenyataannya. Bahkan guru itu sendiri pun jauh dari harapan pemenuhan dahaga dalam nuansa "akhlakul karimah".
Proses pembelajaran yang berkualitas bukanlah sebuah pekerjaan mudah dilakukan. Kendala psikologis, ekonomi dan kultural adalah instrumen utama penghambat kemajuan pendidikan yang bermutu tinggi, minimal masuk dalam kategori "Sekolah Standar Nasional". Kendala psikologis terutama terletak pada perasaan senioritas, ketidakmauan untuk belajar dari rekan kerja, menerima kritik dari bawahan, bersifat tertutup dari kemajuan dan perkembangan pengetahuan karena perasaan terlebih dahulu mengenyam "asam garam kehidupan" (superiority complex).
Faktor ekonomi terutama pada kendala finansial yang beranggapan bahwa kualitas pendidikan membutuhkan biaya tinggi, ingin pintar harus kuliah, obsesi menjadi guru teladan harus mengikuti program pendidikan tinggi (kalau perlu sampai jenjang S3), dan sebagainya. Konstruksi berfikir ini tentu menghambat kemajuan, dan lagi-lagi di masyarakat bahkan di kalangan guru itu sendiri telah terjangkiti penyakit "hedonistik-materialisme". Padahal pendidikan itu dapat dilakukan dimanapun, kapanpun, dan kepada siapa pun. Belajar dari pengalaman, belajar dari fenomena lingkungan, alam semesta, dan belajar dari tragedi. Fakultas yang paling baik dalam konstelasi pengetahuan adalah fakultas kehidupan.
Faktor kultural, yakni budaya-budaya yang menghambat kemajuan. Gugatan ST. Alisyahbana terhadap budaya lokal-feodal dengan lebih memilih pada budaya dan pemikiran barat, didasari pada fakta historis bahwa orang Indonesia sulit diajak berfikir modern, logis dan sistematis. Alangkah suatu tragedi, apabila seorang guru telah menjustifikasi dirinya sulit untuk berkembang, memvonis siswa gagal dalam penguasaan teknologi. Semua itu tentu didasarkan pada budaya ketertutupan. Tertutup berarti kiamat, kesempurnaan berarti keberakhiran, dan sebaliknya keterbukaan adalah awal menuju kebaikan.
Kinerja guru yang baik dapat diwujudkan dalam suatu konteks tertentu sejalan dengan visi, misi dan strategi yang menunjang pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Ketiga hal ini diperlukan agar guru lebih mudah dan terarah karena sudah memiliki gambaran dan pegangan berupa langkah-langkah mengajar yang harus dilaksanakan sesuai strategi yang sudah ditetapkan.
Baik tidaknya kinerja guru dapat dilihat dari kompetensi yang meliputi penguasaan terhadap bahan pengajaran, pengelolaan program belajar mengajar, pengelolaan kelas, penggunaan media, penguasaan landasan pendidikan, pengelolaan interaksi belajar mengajar, penguasaan psiko-sosial pendidikan, penguasaan kontekstual pendidikan, penguasaan moralitas, penilaian prestasi siswa dan pengenalan fungsi bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
Hubungan antara kinerja guru tersebut ternyata berimplikasi pada pembentukan karakter itu sendiri. Dampak itu dapat disebutkan pada dimensi moral dan etik yang bermuara pada "pembentukan akhlakul karimah". Dikotomi dualistik antara kognisi dan afeksi harus dieliminimasi demi pembentukan akhlakul karimah itu sendiri. Salah satu variabel utama pembentukan akhlakul karimah adalah profesionalisme guru dalam pelaksaan proses pendidikan. Jika guru hanya sebatas mengajar, berarti guru hanya sebatas mentransfer pengetahuan. Namun apabila guru mendidik siswa, berarti ada proses mental dan sikap yang terlibat di dalamnya.
Proses pendidikan yang bernuansa akhlakul karimah menuntut kinerja yang paripurna. Artinya, seorang guru dapat mereliasasikan itu semua apabila mampu membawa siswa-siswa, lingkungan sekitar dan elemen-elemen sosial lainnya melibatkan potensi kemampuan holistik. Kemampuan holistik menggunakan potensi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.
Dengan akhlak mulia serta budi pekerti luhur maka siswa akan menerima kontribusi bermakna di dalam pendewasaan berpikir, bersikap serta berperilaku di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian output pendidikan di masa datang tidak hanya siswa yang cerdas secara rasional, akan tetapi juga cerdas secara emosional, sosial dan spiritual.
Diyakini bahwa akumulasi kemampuan dari Intelektual Quotient (IQ), Emosional Quotient (EQ), Creativity Quotient (CQ), dan Adversity Quotient (AQ) yang tergali melalui proses pembelajaran bermakna dengan bimbingan Guru yang berkarakter dan profesional akan melahirkan apa yang disebut oleh Diaz Dwikomentari sebagai Solution Spiritual Quotient (SoSQ). Inilah sebenarnya terminologi akhir dari hasil belajar yang harus di-advocasi secara proporsional tidak hanya oleh lembaga pendidikan skolastik, akan tetapi juga oleh masyarakat dan orang tua sebagai pemegang mandat pertama tanggung jawab masa depan anak.
Model pendidikan yang bersifat holistik dan integral tersebut menepis sebagian kalangan dewasa ini bahwa pembentukan akhlak mulia hanya dapat direalisasikan pada pemberian materi pendidikan agama, pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, dan sejenisnya. Padahal bukan itu yang diinginkan, semua materi dan pelajaran mengandung nilai-nilai moral (moral messages). Meskipun itu adalah pelajaran eksak sekalipun. Disinilah dibutuhkan kemampuan luar biasa seorang guru, bekerja secara maksimal, berwawasan luas, future-oriented, berfikir global dan bertindak lokal (think globally and act locally), dan beberapa varian lainnya.
Optimalisasi kinerja guru dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dalam menuju konsep akhlakul karimah –paradigma pembangunan Walikota Tangerang Wahidin Halim—dapat direalisasikan dengan beberapa langkah sebagai berikut:
1.Proses pembelajaran di kelas tidak lagi bersifat eksklusif. Artinya guru harus menafsirkan setiap materi pelajaran dengan dimensi lain berupa aspek moral, nilai-nilai religiusitas, aspek historis, ekonomi, sosial, kultural, dan sebagainya. Contoh: ketika seorang guru membahas tentang gaya gravitasi bumi, itu bukan hanya menyangkut seorang Isaac Newton, melainkan juga aspek moralitas berupa semua hal yang terbang tinggi akan kembali ke bumi, itu berarti setinggi apapun kedudukan manusia tetap harus berpijak ke bumi.
2.Proses pembelajaran sekompleks apapun harus dilandaskan pada pijakan keagamaan (Religious based Learning). Begitu pula dengan sistem sonar dan mekanisme peredaran planet dengan matahari dapat dikorelasikan dengan kitab suci Islam yakni Al-Qur'an. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut::
(Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui. (QS. Yunus: 5)
3.Pendidikan atau proses pembelajaran berkualitas dengan akhlakul karimah direalisasikan dengan konsep suri tauladan yang baik. Sudah saatnya guru tidak lagi melakukan pelecehan seksual, berbuat hal-hal yang tidak bermoral kepada anak didiknya. Reformasi mentalitas guru harus diperbaiki dengan cara melakukan refleksi substantif tentang fungsi dan tugas guru sebagai "second parent" dalam konteks relasi siswa-guru. Dengan contoh-contoh yang mulia tentu dengan sendirinya kebajikan dan perbuatan yang bermoral akan terlembaga di sekolah dan di masyarakat.
Implementasi ke dalam kehidupan keseharian peserta didik dengan Akhlakul Karimah akan menjadi penyejuk dari lawan interaksi komunikasi interpersonal. Diharapkan kondisi tersebut menjadi benih-benih baru yang mulai di tanam di ladang kehidupan kemasyarakatan kita. Seperti kata bijak dituliskan; “Apabila anak mendapatkan sebaik-baiknya perlakuan, ia akan belajar ber-keadilan”. Namun hanya dengan sikap konsisten terhadap apa yang diyakini membawa perubahan/perbaikan dan berpegang teguh pada keyakinan tersebut (istiqomah), maka bangsa ini akan mampu keluar dari kemelut krisis multi dimensional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar