Senin, 09 November 2009

The End of Capitalism

THE END OF CAPITALISM

Pengantar

Banyak pakar ilmu-ilmu sosial kontemporer yang meragukan kehebatan ideologi kapitalisme sebagai ideologi yang sempurna dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi umat manusia. Di awali dengan krisis moneter yang menerjang hebat hampir sebagian besar negara-negara Asia pada tahun 1998. Barangkali peristiwa itu tidak terlalu berpengaruh kepada jantung-jantung kapitalisme global yang berpusat di New York di Amerika Serikat dan London di Inggris.
Namun, seiring berjalannya waktu tepatnya satu dasawarsa pasca krisis moneter di belahan Asia, maka terjadilah peristiwa hebat yang mengguncang sistem kapitalisme, tidak hanya sebagai sebagai sistem ekonomi dan budaya melainkan sebagai "way of life". Peristiwa yang dikenal dengan sebutan "Subrime Mortgage" di Amerika Serikat, merontokkan kedigdayaan ekonomi kapitalisme, kebangkrutan korporasi-korporasi multinasional seperti Standard Chartered, General Motors, dan hampir seluruh perusahan-perusahan besar lainnya. Pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana. Bank banyak yang tutup, kredit macet di bidang properti meraja lela, bursa-bursa saham di New York Stock Exchange bertumbangan, yang diiringi pada bursa-bursa dunia lainnya.
Babak baru hegemoni Amerika Serikat sebagai dedengkot kapitalisme dunia dipertaruhkan bahkan dipertanyakan. Keraguan akan daya revivalitas sistem kapitalisme sedikit banyak menghantui hampir seluruh jagad penduduk benua. Barangkali kita teringat dengan manifesto komunisme-nya Karl Marx dan Friedriech Engels dengan ungkapan: " A spectre is haunting Europe -- the spectre of communism". Ada sebuah hantu yang sedang membayangi Eropa, ungkapan ini dapat diderivasikan ada sebuah hantu "kebangkrutan kapitalisme" yang sedang membayangi dunia. Ini adalah sebuah kenyataan historis bagi siapapun yang hidup di milenium ketiga, ketakutan akan keberakhiran ideologi kapitalisme mengancam kaum borjuis dalam mangakumulasikan modal dan tenaga manusia, kegamangan manusia moderen yang terbiasa bergumul dengan kesadaran kapitalisme semu tanpa pernah melakukan kritik yang memadai terutama ketika mereka menemukan titik-titik kelemahan mendasar sistem ini.
Pada saat sistem komunisme runtuh dengan bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 dan robohnya tembok Berlin, seketika semua orang tersenyum lebar sebagai bukti kemenangan kapitalisme. Salah satu orang yang senang, tentu bangga adalah Francis Fukuyama. Dalam karya "The End of History and The Last Man", Fukuyama menyatakan dengan jelas bahwa kapitalisme yang memiliki nyawa demokrasi liberal akan melembagakan suatu "end point of mankinds' ideological evolution and the final form of human government, and such as constituted the end of history". Sungguh suatu hipotesis ang sangat berani dalam menyimpulkan kemenangan kapitalisme dengan anggapan nilai-nilai universal yang menaunginya seperti "liberalisme, demokrasi, hak-hak asasi manusia, kekebasan, kompetisi, dan hak kepemilikan". Anggapan Fukuyama didasarkan pada fakta sejarah keruntuhan komunisme yang tidak hanya gagal dalam menyejahterakan masyarakat di suatu negara yang menganut ideologi tersebut, tetapi juga jelas-jelas gagal berdialektika dengan sejarah itu sendiri untuk menjadi sintesis siklis.
Pada permulaan analisisnya, Fukuyama melihat bahwa komunisme dengan segala variannya antara lain, otoritarianisme, ultranasionalisme fasistik, sistem kediktatoran di negara-negara ketiga sebagaimana yang dianut oleh Filipina dengan Corazon Aquino, Italia dengan Mussolini, Irak dengan partai Ba'ath pimpinan Saddam Husein, Suriah dengan kaum Alawy-nya, dan negara-negara Afrika, serta negara-negara Amerika Latin gagal menyejahterakan rakyatnya karena tidak mengakomodasi kepentingan individual berupa hak kepemilikan eksklusif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar