Sabtu, 07 November 2009

Keadilan: Asas Filsafat Hukum

John Rawls dalam karya besarnya "Theori of Justice" menyatakan bahwa : each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for other (1973:60) Dari statment tersebut mengindikasikan kekuatan keadilan sebagai mainstream tegaknya hukum. Keadilan bermakna persamaan hak di mata hukum, tidak ada sikap diskrimasi dari negara dan aparat penegak hukum, memiliki akses yang sama untuk memperjuangkan hak-haknya.
Ketika hukum ditegakkan atas nama kepastian hukum, atau meminjam istilah filsuf Perancis, Auguste Comte -perspektif positivistik- maka pada saat itu pula nilai-nilai moralitas yang bernama keadilan dan persamaan mengalami reduksi maknawi yang luar biasa. Kontradiksi itu juga yang sedang dialami oleh kasus Bibit-Chandra yang dimainkan dalam lakon "Cicak versus Buaya".
Pertarungan antara Cicak sebagai representasi keadilan masyarakat dan buaya sebagai represantasi kepastian hukum positif sedang bergulat untuk menemukan sintesis di antara dua arus utama aliran filsafat hukum.
Saya merasa keadilan menjadi barometer menentukan sebuah kepastian, pembuktian fakta, keterukuran, hukum prosedural-formalistik. Justru yang terakhir ini kadang menjadi alat penguasa untuk melegalisasikan kebijakan yang bersifat ilegal. Atas nama fakta yuridis, mereka bersembunyi di bawah ketiak keadilan semu bagi masyarakat.
Namun, berdasarkan adagium "Vox Populi Vox Dei", suara rakyat adalah suara Tuhan, ini berarti supremasi hukum dapat dijalankan dengan mengedepankan aspek keadilan, ekualitas, dan humanisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar