Sabtu, 07 November 2009

Filsafat Sosial dalam ranah Psikologi Sosial

PSIKOLOGI SOSIAL : suatu pendekatan kognitif

Struktur pengetahuan dewasa ini kian mengerucut pada sistem pengetahuan yang terspesialisasi. Kecenderungan-kecenderungan yang ada disebabkan oleh entitas modernitas dengan paradigma Positivisme-rasionalisasi. Semua kategori-kategori yang dikembangkan adalah dalam rangka pemenuhan terhadap Paradigma positivisme-comtean dan rasionalisme-descartean.
Tetapi semakin terfokus pada disiplin ilmu tertentu, pada saat itu pula ditentukan inter-relasi antar disiplin yang terspesialisasi. Barangkali , struktur suatu ilmu pengetahuan tidak lagi mampu memberikan jawaban yang berarti terhadap setiap permasalahan yang hadir di tengah kompleksitas manusia. Cabang-cabang studi yang kian berkembang, apalagi berhubungan dengan studi tentang manusia, tidak lagi memadai untuk sekedar menawarkan solusi, mengetengahkan alternatif yang bernilai humanistik agar umat manusia-dengan meninjau istilah Erich Fromm-teralienasi pada konteks sosialnya.
Selain itu perkembangan pengetahuan yang sangat pesat selayaknya diakomodasi dalam penataan konsep yang terintegrasi. Integrasi disiplin sangat diperlukan sebagai upaya menerjemahkan kemajuan ilmu, riset, fenomena, fakta, dan informasi ditempatkan dalam kesadaran yang utuh.
Di tengah upaya-upaya mengkonseptualisasikan struktur pengetahuan yang terspesialisasi ( specialized knowledge ), seorang ilmuan Amerika J. Richard Eiser memformulasikan gagasan yang sebenarnya sudah ada di awal abad 20 yaitu psikologi sosial kognitif ( Cognitive social psychology ). Dapat dikatakan bahwa Eiser memadukan tiga bidang sekaligus, yaitu psikologi, sosiologi, dan neurologi. Formulasi yang telah mapan adalah psikologi sosial, yakni konvergensi antara psikologi dan soiologi. Sedangkan aspek kognitif dijadikan suatu pendekatan baru dalam kajian psikologi sosial ini berarti, Eiser adalah yang pertama merumuskan psikologi sosial dalam pendekatan kognitif. Sebagaimana yang kita ketahui, terminologi kognitif adalah referensi utama dalam dunia pendidikan.
Apa yang dimaksud dengan psikologi sosial ? Bagi Eiser, hakikat psikologi sosial adalah tingkah laku sosial manusia ( human social behaviour ), yang didalamnya kita sebagai manusia dapat merasakan dan berpartisipasi secara konstan. Kita merasakan dan kita mengetahui persoalan yang sangat besar, dan kita participsi, adalah menjelaskan substansi kebenaran dan kesalahan, tentang haikat manusia tentang apa yang akan dilakukan dan tidak, dan belajar dari pengalaman (hal.4) secara ideal, apa yang dapat “psikologisosial” lakukan adalah menjawab pertanyaan : mengapa orang merasakan dan betindak dengan cara-cara tertentu ?
Dari kedudukan psikologi sosial yang menempatkan “perceive” (merasa) dan “participate” (berbuat) sebagai objek utamanya, maka Eiser melanjutkan eksperimentasi ke dalam pendekatan kognitif (cognative appreach). Ketika psikologi sosial ditempatkan sebagai pendekatan kognitif, Eiser menggunakan beberapa asumsi. Asumsi-asumsi itu berdasarkan metode investigasi dan interpretasi data, bukan pernyataan dagmatis. Asumsi pertama adalah “individu merupakan penyimpan informasi yang aktif (the individual is an active processor of information)”. Asumsi kedua adalah interpretasi suatu rangsang tergantung pada kedudukan stimulus dan bergantung pada pengharapan dan standar perbandingan dari orang yang merasakan sebelumnya (the interpretation of a stimulus depends both on atributes of the stimulus and on the perceiver prior expectations and standart of comparison). Asumsi ketiga adalah individu berusaha mengatur pengalamannya : seperti jenis organisasi tertentu yang meliputi seleksi dan penyederhanaan ( the individual tries to organize his experience : such organizations typically involves selection and simplification ). Hal.8
Dari asumsi-asumsi tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkah laku sosial merupakan hasil dari keputusan-keputusan. Paradigma psikologi sosial kognitif yang dikembangkan oleh Eiser dipengaruhi oleh pemikiran Jean Piaget, teori perkembangan kognitif ( cognitive Development Theory ). Piaget mendasari teorinya pada dua kecendruangan dasar yakni organisasi dan adaptasi. Organisasi di maksudkan sebagai kecendrungan mensistematisasikan dan mengkombinasikan proses-proses ke dalam sistem-sistem umum yang bertautan. Sedangkan adaptasi adalah kecendrungan menyesuaikan kepada lingkungan. Asumsi-asumsi Eiser didasarkan oleh pandangan Piaget tersebut.
Karena perilaku sosial adalah hasil suatu keputusan, maka seseorang bereaksi terhadap setiap stimulus dan situasi sosial, yang tergantung pada bagaimana ia mampu menafsirkan dan mengkatagorikan informasi yang ada didalamnya. Bagi Eiser reaksi seseorang juga bergantung pada ekspektasi dan estándar perbandingan sebelumnya yang bersebrangan dengan stimulus atau situasi yang dipertimbangkannya atau apa yang ia rasakan adalah yang diharapkan olehnya. Berarti, logika dualisme ala Eiser ini dapat diletakkan pada realitas sosial si suatu sisi, dan idealitas individual di lain pihak. Keterkaitan antara dua dimensi itu, bagi Eiser dapat dijembatani dengan interpretasi informasi yang muncul melalui tindakan atau perilaku seseorang. (hal.9).
Keputusan dan perilaku sosial haruslah benar-benar bersifat rasional. Eiser berpandangan, yang dinamakan bersifat rasional berarti benar dan konsisten menurut sudut pandang logika dan matematika. Di sinilah dibutuhkan metode heuristika yang difungsikan sebagai suatu strastegi yang digunakan untuk menangkap kompleksitas informasi, tetapi heuristika juga dapat menandai kesalahan di dalam beberapa situasi. Eiser membagi metode heuristika kepada 3 jenis pendekatan pertama, pendekatan keterwakilan ( representativeness heuritistic ) yaitu kecenderungan mempertimbangkan probabilitas rangsangan kelas tertentu mampu mewakili tingkatan yang lebih umum pada kelas atau kelompok lainnya seperti jamur liar yang mengandung racaun ketika dimakan, dapat mewakili anggapan segala jenis jamur lainnya bahwa jamur itu mengandung racun. Eiser melihat tingkatan ini mengandung kelemahan. Kedua, pendekatan ketersediaan atau adanya ( availability heuristic ), yaitu kecenderungan bagi suatu peristiwa yang dianggap lebih mungkin atau tepat terhadap hal yang digambarkan seperti, seorang anak kecil masuk rumah sakit akibat memakan jamur liar. Situasi ini lebih mudah ditafsirkan bahwa jamur liar mengandung racun, karena ada seorang anak yang dirawat di rumah sakit. Ketiga, pendekatan pelarungan ( the anchoring bias ), yaitu menuju pada kegagalan seseorang yang mampu memperbaiki perhitungan mereka secara berimbang ketika informasi baru dimunculkan. Kegagalan ini adalah bentuk anggapan umum yang salah tentang segala jenis jamur yang mengandung racun. Kemudian ada talenta baru yang mengungkapkan banyak terdapat jenis jamur yang tidak mengandung racun. Secara berimbang kognisi orang itu kemudian meralat anggapan yang salah ( hal 10-11 ).
Setelah Eiser menjelaskan landasan teori tentang psikologi sosial kognitif-nya barulah ia mengawali pengembaraan yang sangat mendalam tentang teori-teorinya. Pada bagian kedua bukunya, Eiser mengeksplorasi tentang manusia sebagai perasa ( people as perceivers )
Dalam konteks sosial, nilai psikologis seseorang dapat diukur melalui sikapnya. Sikap ( attitude ) adalah terminologi yang paling krusial dalam kajian psikologi sosial. Sikap yang masuk dalam kategori subjektif, masih dapat diukur sejauh pengukuran bidang matematika dan logika. Eiser berasumsi pada diktum bahwa segala sesuatu itu adalah ada, dan bahwa “yang ada” berada dalam beberapa tingkat ( everything which exists, exsits which in some degree ).hal.20. Dalam pengukuran sikap itu, Eiser menunjuk pada tiga metode, yaitu metode Thurstone tentang rentangan jawaban sikap dari yang paling negatif sampai pada jawaban yang paling positif. Ada juga metode Likert yang menggunakan peringkat pada setiap kategori jawaban, dan metode Guttman tentang Scalogram analysis. Bagaimana hubungan antara : STIMULUS-ATTITUDE-AFFECTIFE-KOGNITIF-TINGKAH LAKU ? Eiser membuat gambaran sebagai berikut :
Stimulus yang terdiri dari individu-individu, situasi sosial, kelompok sosial, dan benda-benda lainnya menghasilkan sikap. Dari sikap ini melahirkan afektif dengan variabel dependent yang dapat diukur : respons nervous simpatik dan pernyataan verbal yang berpengaruh. Sikap juga menghasilkan kognisi yang memiliki variabel : respons persepsi dan pernyataan verbal tentang keyakinan. Dan produk sikap yang ketiga adalah tingkah laku yang terdiri dari variabel perbuatan yang bermaksud jahat dan pernyataan verbal yang baerkaitan dengan perilaku. hal.47.
Persoalannya adalah mana yang lebih terukur antara sikap dan tingkah laku ? Eiser menjawab tingkah laku, karena sikap mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku adalah instrumentasi yang faktual dalam konteks sosial. Beda dengan sikap yang masih mengandung misteri. Oleh karena itu, keterukuran sikap dapat dilakukan melalui pernyataan-pernyataan verbal.
Pada bab 3, Eiser membahas tntang prinsip-prinsip pertimbangan sosial ( social judgement ) sebagai bagian yang penting dalam psikologi kognitif pada prinsipnya, setiap tugas yang menghendaki sang pelaku memutuskan apakah rangsangan itu ada atau tiada, atau apakah stimulus itu sama atau berbeda dari stimulus lain, adalah tugas pertimbangan. Eiser mengungkapkan bahwa “social judgement” adalah studi tentang bagaimana individu-individu meletakkan posisi-posisi dari pernyataan sikap dan rangsangan yang sama sepanjang dimensi yang tergambarkan apa adanya dalam relasi sosial (hal. 90). Dalam pembahasan tentang pertimbangan Eiser menggunakan dua pendekatan, yaitu psikopisik dan pendekatan integrasionisme. Pendekatan psikopisik (psychophysic approach) secara tradisional berkaitan dengan pengukuran sensasi-sensasi yang diderivasikan dari respons-respons pertimbangan. Pendekatan ini dikembangkan oleh Fechner dengan teori tingkat adaptasi (adaptation-level Theory) yang menggunakan hukum logaritma. Pada dasarnya teori ini menyatakan bahwa “stimulus-rasio yang seimbang menghasilkan sensasi-rasio yang sejajar”. Sedangkan pendekatan integrasionisme yang dikembangkan bahwa orang yang merasakan (the perceiver) itu jelas lebih aktif sebagai penyimpan dan penafsir informasi yang mengandung stimulus.
Dalam membahas pertimbangan sosial ( social judment ) Eiser menggunakan dua model pendekatan:
1). Model asimilasi pertentangan ( the assimilation-contrast model). Model pertimbangan sosial jenis ini mengasumsikan bahwa individu menggunakan sikapnya sendiri sebagai sebuah jangkar ( an anchor ) atau stimulus perbandingan dengan sebab bahwa pernyatan sikap yang dilakukan tidak dapat di gabungkan antar asapek pembauran ( assimilation ) pertentangan ( contrast ) misalnya pernyatan sikap: “ Orang negro seharusnya diberikan kesempatan mengenyam pendidikan yang sama sebagaimana orang kulit putih yang di posisikan sama. Sedangkan pertentangan dipersepsikan sebagai sikap radikalisme, “saya menempatkan kaum negro sebagai kaum budak”. Di sini akan menentukan polarisasi pertimbangan.
2). Model perspektif variabel ( The variable perspective model ). Model ini dikembangakan oleh Upshaw dan Thurstone yang yang menggambarkan ukuran yang relatif. Pebedaan itu terletak pada pandangan seorang yang ditempatkan pada dua perilaku subjektif. Seseorang mengusungkan persepsinya pada posisi ukuran yang sangat tidak menguntungkan, dan orang lain mempersepsikan bahwa posisinya sangat menguntungkan.
Teori adaptasi menafsirkan pengaruh pertimbangan yang kontras sebagai refleksi perubahan sensasi, dan teori integrasionisme menekankan kemampuan individu mendefinisikan bahasa pertimbangan dalam unsur yang terjadi bagi rangsangan yang sedang dipertimbangkan. Dua pendekatan yang berbeda ini dimediasi oleh Eiser dengan teori aksentuasi-nya. Teori aksentuasi (accentuation theory) beranggapan bahwa pertimbangan pernyataan sikap akan lebih terpolarisasi ketika pernyataan itu dapat dibedakan dalam ukuran dapat diterima atau tidak dapat diterima, atau dapat memadai atau tidak dapat memadai bagi rasio manusia misalnya, “anda kelihatan gemuk, mungkin anda senang dalam menjalani hidup”. Rasio seketika membagi dua persepsi kurus berarti susah”, “gemuk dianggap senang”.
Persepsi orang terhadap sikap atau karakter orang lain dapat memberikan asumsi tentang alasan bagi tingkat laku mereka, itu dijelaskan dalam bentuk respons. Teori yang tepat untuk menjelaskan timbal-balik persepsi seseorang terhadap perilaku orang lain dapat dijelaskan melalui teori atribusi (attribution theory). Eiser melihat teori ini menekankan pada sikap dan kepribadian seseorang yang cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional yang dirasakan untuk memfasilitasi perilakunya. Di sini hukum kausalitas dapat memberikan landasan yang tepat bagaimana persepsi itu disebabkan oleh sikap atau perilaku orang lain. Kondisi orang langsung merespons secara simultan ketika persepsinya disalurkan orang lain. Kondisi orang langsung merespon secara simultan ketika persepsinya disalurkan ke otak karena respons Kognisi orang itu merasakan (Perceive) personalitas atau perilaku yang lain, baik itu perilaku yang bersikap umum atau juga sikap yang tidak lazim.
Proses timbal-balik antara persepsi dengan respons dapat dipengarahi oleh insentif atau pemberian yang dapat menstimulasi respons kondisi orang. Bagi Eiser, insentif mampu menumbuhkembangkan motivasi. “Hukum mempengaruhi (the law of effect) dimanifestasikan dalam bentuk hasrat meraih sesuatu atau ada implikasi positif atau negatif dari respons yang diberikan umpamanya, saya melakukan perbuatan ini guna mendapatkan nasi”, “Saya bertindah demikian agar terhindar dari hukuman. Antara ganjaran dan hukuman (reward and punisment) menjadi sentral dalam mendorong rangsangan hasrat, keinginan yang diwujudkan melalui tindakan kongkrit, Tindakan kongkrit yang dipersiapkan oleh rangsangan itu disebut dengan kerja kogritif (Cognitive Work) hal 132 perilaku dapat dikatakan sebagai kerja kogritif apabila keputusan yang diambil bersifat rasional dan dijustifikasi Rasional berarti terukur dalam parameter yang jelas menurut situasi “Persepsi-Stimulasi, sedangkan justifikasi berarti mendapat legitimasi dari orang lain berapa “reward-punisment”.
Dipandang dari segi keikutsertaan individu dalam mengartikulasikan sikap secara kongkrit, maka Eiser menggunakan teori keseimbangan kognitif ( Cognitive balance theory ). Teori ini di dasarkan pada konsep Newcomb tentang teory daya tarik sosial ( a social theory of attraction ). Teori ini terapkan pada persoalan khusus tentang presisi keterdugaan sikap interpersonal yang positif dan negatif dari kesepakatan dan ketidakkesepakatan tentang suatu objek sikap, dan sebaliknya. Di lihat dari dimensi ini, maka Eiser membagi pada dua jenis sikap.
1) Keseimbangan dan persamaan sikap ( Balance similarity attitude ). Prinsip keseimbangan sikap berasal dari teori Heider, baginya orang benar-benar termotivasi tidak setuju pada orang lain yang memang mereka tidak suka kepadanya, sebagaimana mereka menyetujui orang lain yang mereka sukai. Keseimbangan teletak pada sikap komunikasi seseorang yang lebih instens kepada pihak yang disukai, dan ketidaktertarikan menjalin komunikasi kepada orang yang di benci. Berarti adanya teori ini adalah kesalinghubungan antara persahabatan dan komunikasi.
2) Ketertarikan dan persamaan sikap ( Attraction a similarity of attitude ). Orng yang tertarik kepada pihak yang memiliki kesamaan sikap, bahkan lebih dekat menjalin komunikasi kepada pihak yang lebih cerdas, dapat menikmati pekerjaan bersamanya, yang berpengetahuan banyak, yang lebih bermoral, dan lebih dalam menyesuaikan diri
Dorongan sikap dielaborasi dalam beberapa instrumen penting. Eiser menjelaskan beberapa instrumen yang dapat menarik diri dalam relasi interpersonal:
1. Ketetarikan fisik ( physical attractivenees ), yaitu sesuatu yang mudah di ukur dalam penepatan fisik, cantik menyenangkan, semampai dll.
2. Cinta romantis ( Romantic love ), penghayatan pada romantisisme cinta mendorong sikap untuk lebih pada apa yang Eiser sebut “ dorongan kembali nilai yang positif ” ( reinforcement positive ) hal. 181.
3. Kesalingtergantungan dan kepuasan ( interdependence and atification ), bentuk ketergantungan menimbulkan sikap saling memutuskan, dan hubungan yang lebih pisitif, akan menimbulkan kepuasan yang lebih pula. Model hipotesis ini dapat dijelaskan pada teori tingkat perbandingan ( comparison level theory ).
4. Saling melengkapi dan kestabilan ( Complementarity and stability ). Hubungan interpersonal akan mejadi lebih stabil jika kepuasan anggota lainnya tidak membawa kekecewaan pada lain pihak. Artinya mererka saling melengkapi, tidak berlaku egois, dan mengerti perasaan anggota lainnya hal .189
Paradigma lain yang menjadi “core” dalam pemikiran Eiser adalah menusia sebagai partisipan (people as participat). Partisipan berarti tindakan yang dilakukan secara sadar sebagai akibat dari stimulasi situasional, atau personalitas dan sikap seseorang adalah dalam konteks hubungan interpersonal, ketika persepsi-sitimulasi-perilaku itu memiliki kesamaan, maka membentuk jaringan “atraksi interpersonal” (Interpersonal attraction) hal. 167. Teori yang dikembangan oleh Newcomb ini memandang apabila si A merasakan bahwa Si. B menceritakan pandangannya, entah itu positif atau negatif tentang satu masalah X, maka Si A akan lebih menyukai Si B dari pada ia berpikir B tidak setuju kepadanya.
Inilah yang dimaksud dengan teori keseimbangan (Balance Theory), dimana individu-individu akan tertarik kepada pihak lain dengan sikap-sikap yang sama, dan akan mengadopsi sikap-sikap yang sama itu pada teman-temannya. Daya tarik, sikap yang baik, kecantikan dalam (inner beauty) dapat mempengaruhi seseorang untuk bersikap secara apa yang dimaksud Eiser-dorongan positif (positive reinforcement)
Dorongan positif itu dapat berbentuk mencintai melaksanakan apa yang dikehendaki, atau memanipulasi perilaku seakan-akan berbuat demikian untuk memperat hubungan personal. Fokus perhatikan akan lebih ditekankan pada jenis kelamin yang berbeda dan daya tarik fisik yang lebih mempesona.
Dorongan positif distimulasi oleh adanya pemberian insentif atau hadiah ( Reward ), hukuman (punishment ) pengabsahan ( justifikasi) dalam ketidakcocokan ( dissonance ). Pengaruh dari semua itu adalah prinsif dasar adanya kegairahan, motivasi diri dalam bertindak. Dari perspektif atribusi, motivasi terbagi dua jenis :
1. Motivasi intrinsik ( intrinsic motivation ). Motivasi ini timbul dari dalam diri individu yang berkaitan dengan gairah prilaku seseorang karena minat, hobi, keinginan yang dilaksanakan sebagai selera ekspresi diri, missalnya seorang mahasiswa pencinta alam ( mapala ), yang senang mengembara melakukan pendakian gunung merapi sebagai ekspresi kecintaannya kepada keindahan alam. Tanpa dibayarpun mereka akan terus mengekspresikan prilaku kesenangannya
2. Motivasi ekstrinsik ( extrinsic motivation ). Jenis motivasi ini di tambahkan oleh apa yang di sebut Eiser “ Alasan ekstrinsik yang kuat ( Strong extrinsic reasons ), seperti ganjaran keuangan yang besar, atau di jatuhkan ancaman berupa hukuman. Seperti ucapan “ saya tidak akan melakukan lagi, karena saya sudah di hukum selam satu tahun.
Adanya beberapa teori yang menjelaskan tentang dorongan yang saling bertentangan karena unsur ekstrinsik mendorong orang melakukan sesuatu, namun menimbulkan disfungsi akibat ketidakmampuan merespon stimulus tersebut. Dua teori yang di tawarkan Eiser adalah:
1. Teori ketidaksesuaian kognitif (Cognitif Dissonace theory).Teori yang di kembangkan Festinger ini mememandang bahwa setiap keputusan di antar tindakan alternatif yang akan mengarahkan pada suatu keadaan ketegangan atau ketidaksesuain psikologis, menuju pada tingkat ketertarikan dari dua alternatif adalah sama. Ungkapan seperti : kamu merindukan pesta besar malam kemarin, bukankah itu pertandingan luar biasa malam kemarin? Apa ? Apakah kamu tidak melihatnya ?. Setiap keraguan yang ia barangkali merasa sebagai pilihan pelik di antara dua pilihan “ ya “ atau “ tidak “, inilah yang di maksud ketidaksesuain kognitif. Pilihan dalam satu waktu, antara menonton pertandingan sepak bola yang sangat menarik perhatiannya, apakah mengikuti pesta yang mengesankan, menjelaskan orang itu bimbang, dan membuat nalarnya jadi tidak menstabilkan kondisi psikologisnya. Disini, teori ketidaksesuain kognitif memprediksi bahwa seseorang akan di motivasi oleh untuk menyelesaikan ketidakkonsistennya ( Inconsistency ). Eiser mengajukan satu strategi yang di sebut “ mengevaluasi kembali dua pilihan itu ( re-evaluate the two alternatives )
Evaluasi di mungkinkan dilakukan dengan skema:
a. Pilihan ( Choice)
Pilihan ini ditentukan melalui pertimbangan matang dengan melaksanakan perbuata, dan membatalkan perbuatan lainnya
b. Kemampuan memandang kedepan ( Foreseeability )
Aspek ini adalah pengguna imajinasi kognitif memulai dengan melihat asas kemanfaatan, kelayakan, kemungkinan, dan unsure lainya.
c. Rasa tanggung jawab ( responsibility )
Pada umumnya, pilihan yang di lakukan adalah ukuran tanggung jawab yang lebuh besar
2. Teori persepsi diri ( self-perception theory )
Teori ini merupakan penafsiran penomena disonasi kognotif yang di pilih sebagi sebuah tindakan. Kkeganangan sikap dalam menentukan pilihan, di tentukan oleh persepsi diri terhadap tindakan yang akan akan di lakukan, minimal situasinya memungkinkan dilakukan dengan batasan-batasan yang sedikit. Jika tingkah laku yang berkaitan dengan sikap ( The attitude-relevant behaviour ), maka individu akan menyimpulkan bahwa sikapnya berhubungan kepada jalan yang mana ia laksanakan. Hal.146
Oleh karena itu sikap dapat direkayasa atau dalam bahasa Eiser dapat dimanipulasi, maka dibutuhkan interaksi strategis (Strategic inferaction). Bentuk dari interaksi strategis dapat diimplementasikan dalam bentuk permainan eksperimental, salah satu jenis permainan yang mampu menstimulasi sikap, yang ditawarkan Eiser adalah “Pilihan-tawaran” (prisoner dilemma). Inti permainan ini adalah sang pelaku mencapai hasil kerjasama yang maksimal melalui kerjasama yang saling menguntungkan (mutual cooperation ). Semakin erat hubungan kerjasama semakin maksimal keterkaitan antar keduanya. Ada dua pilihan yang dapat dilakukan, pertama kerjasama dan yang kedua kompetisi. Dalam satu kotak Pandora dibuat empat kelompok yang terdiri dari dua orang. Bisa saja anggota kelompoknya bekerjasama dan juga berkompetisi tergantung selera dan manipulasi perilaku.
Interaksi yang terjalin melalui perilaku kooperatif dan tindakan kompetitif dapat dievaluasi melalui hasil dari kontribusi, perasaan kognisi dan kesinambungan relasional. Pada segmentasi interaksi dua individu ini maka keseimbangan sangat ditentukan oleh sejauh mana unsure “pertolongan” dijadikan pertimbangan utama. Apabila kerjasama yang terjadi hanya tindakan manipulatif tanpa tindakan menolong kepada pihak lain, maka relasi tersebut akan terputus dengan sendirinya, bahkan menjadi dasar konstruksi kompetisi.usaha pertolongan atau saling membantu juga sangat dipengaruhi atas apa yang Fiser sebut sebagai “ Justified Self-Interest “ (kepentingan pribadi yang dijastifikasi). Hal 261 Artinya : ia mau menolong kepada pihak lain, mengandung motif tertentu yang ingin dicapai.
Proses interaksi melibatkan implus-implus sikap terhadap terhadap pihak lain merupakan awal terbentuknya preses-proses sosial. Proses sosial tergantung pada pengaruh sosial yang di mana lingkungan oarng yang berinteraksi terbentuk atau di kondisikan. Eiser membagi dua situasi yang mempengaruhi relasi sosial atau kelompok:
1. Situasi yang mendua ( Ambiguos situation )
Biasanya situasi ini muncul ketika menempatkan antara kepentingan pribadi ataukah kepentingan kelompok yang di dahulukan. Melihat asumsi ini, sangat dibutuhkan pendekatan teori disonasi kognitif .
2. Situasi yang tidak mendua ( unambiguous situation ).
Maksud situsi ini adalah anggota kelompok memiliki tanggung jawab sikap. Persepsi, dan prilaku yang sama dengan anggota lainya yang kebutuhannya dalam satu ruang dan waktu yang sama. Apabila ia berbicara bebas, karena anggota lainnya pun di nberikan kesempatan yang bebas, jadi sikap yang di bebtuk dalam situasi ini gemang ( Unambiguous ).
Perilaku individu dalam konteks sosial, dengan dinamika, devians, diferensiasi, perhitungan resiko, sebagai anggota mereka dituntut untuk menjadi sekumpulan orang yang yang terikat pensifatan Tertentu maka tak aneh apabila dalam suatu organisasi sosial terdapat polarisasi kelompok ( group polarization ) polarisasi kelompok terbentuk melalui respon orng secara ekstrim,bersifat rasis dan mengandung praduga yang tak terdasar. Hal. 278

Prilaku individu dalam kelompok oleh Eiser terbagi dua:
1. Tingkah laku yang diindividualisasi dari dirinya sendiri nya sendiri ( individuated behaviour ). Pribadi ini di pandang sebagai tindakan yang bersifat rasional dan konsisten, berada kiontrak tingkah lakunya sendiri di likungannya. Konsisten adalah prinsip utama bagi individu untuk mempertahankan konsepsi tentang dirinya sebagai anggota sosial yang dianggap pengambilan keputusan yang rasional ( a rational decition ). Hal . 283
2. Tingkah laku di interlisasikan ke dalam dirinya ( Deindividuated behaviour ). Pribadi ini minimnya observasi dan kaitannya bagi evaluasi sosial, diikuti oleh lemahnya pengawasan berdasarkan kesalahan, perasaan malu, takut, dan adanya komitmen, tingkah brutal oleh tindakan individu.
Ketika hubungan yang terjalin melalui interaksi berupa tindakan koperatif ataupun kompetitif, yang kadangkala ditentukan oleh pertimbangan individu yang bersifat kabur, membingungkan atau ambiguitas, maka pada saat itu pula terbuka peluang terjadinya konvergensi norma sosial. Norma pertimbagan itupun dapat diganti sesuai dengan rangsangan manakala stimulus itu dianggap buka ambigu atau bersifat mendua. Eiser yang meminjam istilah Tajfel, proses sosial semakin kuat terjalin, sejauh anggota kelompok mampu memberikan kontribusi berupa “identitas sosial yang positif ( positive social identity ) hal.312”. identitas sosial itu bersifat tentatif, sewaktu-waktu dapat berubah di dalam hirarkhi status mereka secara individu akan meninggal kan kelompoknya untuk meraih posisi yang lebih tinggi, maka individu akan mengembangkan posisi strategis dalam kelompok. Ini yang dinamakan perubahan sosial ( social change ).
Pembentukan kelompok sosial adalah pembahasan terakhir yang dilakukan oleh J. Richard Eiser. Baginya, psikologi, sosial telah membuat kontribusi yang substansial bagi studi ilmiah tentang perilaku sosial manusia pada level metedologi, prediksi empiris, dan teori umum. Ini merupakan ciri khas paradigma ilmuan Barat-Modern yang bersifat positivistik, empiris dan terukur. Perasaan, sikap dan stimulus serta tingkah laku yang merupakan sesuatau yang tak terukur, dalam perspektif Eiser harus ditempatkan pada riset ilmiah. Agar studi tentang nilai-nilai subjektif itu bernilai objektif, maka diperlukan nalar .atau kognisi manusia yang dapat mempertimbangkan, memilih atau menolak segala rangsangan serta mampu memberikan respons secara positif atau negative.
Buku yang sedang dibahas ini adalah bermaksud demikian. Usaha menjebatani nilai subjektif yang diawali dalam perspektif positivisme-logis. Maka Eiser menamakan studi ini sebagai psikologi sosial kognitif ( cognitive social psychology ).
Karena pembahasan buku ini sangat bersifat filosofis dan teoretis, buku ini sukar dicerna dengan bahasa orang awam. Kering dan bersifat spekulatif rasanya. Dibutuhkan konsentrasi dan nalar yang kuat untuk memahaminya. Tanpa nalar yang kuat rasanya mustahil mere-interpretasi konsep-konsep filosofisnya.
Meskipun demikian buku yang sedang dibahas ini kaya akan teori-teori dasar dalam psikologi sosial. Sehingga setiap pembahasan per bab selalu disertai dengan teori dasar serta pemikiran para tokoh-nya. Kelebihan buku ini adalah selain diperkuat dengan teori-teori yang sangat mendasar dan beruariatif, setiap akhir bab pembahsan selalu disertai dengan kesimpulan. Barangkali maksud penulis adalah agar setiap pembaca mampu memahami konteks filosofis yang sangat sukar dicerna untuk setiap subjek pembahasaan
Sekiranya buku ini diterjemakan ke bahasa Indonesia agar dapat memberikan perspektif baru dalam pengembangan Paradigma pendidikan di Indonesia yang berlandaskan konteks sosial. Sungguh buku yang sangat berarti untuk dibaca.



Selamat mengembara dengan intelegensia tinggi !


Cipondoh, 20 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar